06 Februari 2009

Menelusuri Jl. Malioboro

Saat study tour ke Yogyakarta yang diadakan pada tanggal 15-18 Desember 2008, aku akhirnya berkesempatan untuk mengunjungi Jl. Malioboro yang terkenal sebagai pusat perbelanjaan di kota pelajar ini. Walaupun aku harus menunggu 2 hari untuk ke sana dikarenakan jadwal yang padat dan banyaknya tempat yang harus kami kunjungi.

Aku dan rombongan sekolah berangkat menuju Yogyakarta pada hari Senin, 15 Desember 2008 pukul 06.30. Perjalanan memakan waktu ± 12 jam dengan menggunakan bus. Pada akhirnya kami tiba di tempat penginapan kami yaitu Taman Eden yang terletak di Kaliurang.

Keesokan harinya yaitu hari Selasa, 16 Desember 2008 perjalanan mengelilingi Yogyakarta pun dimulai. Perjalanan kami menempuh rute Taman Indah Wisata Bukit Kaliurang – KETEP PASS – Candi Borobudur – Kota Gede – Taman Eden. Kali ini kami memakan waktu ± 13 jam.

Pada hari Rabu, 17 Desember 2008 kami check out dari hotel dan langsung menuju Tawangmangu. Di sana, kelas IPA mengunjungi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Obat Tradisional dan taman tanaman obat. Sementara kelas IPS mengunjungi air terjun. Perjalanan dilanjutkan siang hari menuju Candi Prambanan dan akhirnya di Malioboro.

Bus kami pun tiba di tempat parkir Abu Bakar Ali yang berjarak ± 150 meter dari Jl. Malioboro pada pukul 18.15 WIB. Saat kami turun, para pedagang di tempat ini mulai sibuk menawarkan berbagai barang dagangannya. Para abang becak juga ikut sibuk menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke Jl. Malioboro dengan harga yang relatif murah. Namun demi menyisakan uang untuk belanja, aku pun tidak menghiraukan tawaran tersebut. Lain halnya dengan para kusir delman yang terlihat tenang-tenang saja. Tidak berusaha terlalu mempromosikan jasa antarannya. mungkin dia lebih berharap pada turis yang lebih terlihat membawa uang banyak. Daripada kami? Anak sekolah yang terkadang ogi (ogah rugi).

Kakiku pun mulai melangkah menuju Malioboro. Terlihat sepanjang jalan yang lurus ini memang menjadi pusat kehidupan di kota Yogya. Mulai dari pedagang pakaian, tas, kerajinan unik khas Yogya, tukang parkir, penjaga pintu toilet, sampai pedagang makanan dan minuman ada di sini.

Aku pun berbelok ke Jl. Malioboro. Jalanan beraspal mulai terpisah dengan lantai berlapis keramik oranye yang terlihat lapuk dan sudah rusak. Di jalanan beraspal ini jumlah becak lebih banyak daripada di tempat parkir. Mereka pun masih sibuk menawarkan jasanya. Tak ketinggalan delman yang meskipun jumlahnya lebih sedikit daripada becak, tetap digemari para turis untuk dinaiki dan membawa mereka berkeliling mengelilingi Jl. Malioboro. Mereka pun masih terlihat santai dengan tidak menawarkan jasanya. Di atas lantai berkeramik inilah menjadi tempat tumpuan hidup para pedagang Malioboro. Sedikit demi sedikit langkahku mulai kuperkecil demi melihat barang apa saja yang kira-kira bisa aku beli untuk dioleh-olehkan. Barang-barang berhiaskan batik mulai kental terlihat di mata.

Ya, batik. Sepertinya trademark yang sempat terlupakan ini kembali muncul ke permukaan. Tak heran para pedagang ini menjual banyak sekali berbagai macam barang yang bermotifkan batik. Mulai dari tas, pakaian, sandal, tas, gantungan kunci, sampai blankon khas Yogya juga ada. Tak hanya batik yang ramai menghiasi berbagai toko di Jl. Malioboro ini, souvenir khas Yogya pun juga dijual. Miniatur Candi Prambanan dan Borobudur masih juga ramai. Juga khas Yogya lainnya, seperti bakpia pathok, kerajinan perak, kayu, dsb.

Saat menawar barang-barang tersebut, aku merasa penjualnya tidak seramah yang aku bayangkan. Harga yang ditawarkan pun relatif mahal untuk ukuran kantong aku. Kalau tidak membeli grosir, mereka tidak mau menurunkan harga secara drastis.

Sangat disayangkan bahwa minimnya petunjuk jalan yang ada membuat aku bingung untuk menelusuri jalan ini hingga ke seluk-beluknya. Aku harus bertanya-tanya kepada orang yang sedang berada di sekitar jalan tersebut. Sehingga aku pun menarik kesimpulan bahwa lain kali aku harus membawa teman yang memang benar tahu daerah ini dengan benar.

Di seberang jalan yang aku lalui mulai terlihat sebuah gedung dengan banyak lampu berpendar di luarnya. Ternyata gedung itu adalah Mall Malioboro. Karena ada janji bertemu kakak, aku pun menyebrang jalan menuju mall itu. Sekali lagi, para abang becak memang tidak lelah menawarkan jasanya.

Motor-motor berparkiran di depan mall itu. Di tengahnya terdapat pintu masuk karcis. Aku pun berjalan melewatinya dan langsung menuju pintu utama mall itu. Semuanya tampak seperti mall pada umumnya, tidak ada yang istimewa atau membuat aku terkesima. Setelah cukup puas berbincang dengan kakak, aku pun kembali menyebrang jalan.

Tidak banyak mobil yang berlalu-lalang di tempat ini. Yang banyak memang motor, tapi becak dan delman tetap menghiasi Jalan Malioboro. Membuatnya terlihat tetap pada asalnya. Modernisasi boleh ada, tapi tetap tidak meninggalkan budaya asli. Mengingatkan aku pada beberapa penjual makanan di tempat parkir. Beberapa orang ibu masih berdagang memakai kebaya dan rok batik, menggigiti sirih sehingga bibirnya terlihat merah, sambil menyelipkan tembakau di bagian lain mulutnya. Mungkin untuk ukuran jaman dahulu memang keren, tapi kalau jaman sekarang… justru terlihat janggal. Tapi aku cukup menikmati pemandangan yang satu itu.

Setelah puas berputar-putar di bagian perbelanjaan, aku pun mulai berjalan kembali ke tempat parkir bus. Aku berjalan dengan salah seorang teman yang juga sedang merasa agak sakit, sama seperti aku. Kira-kira 50 m dari Mall Malioboro, kami menyebrang jalan. Di sisi jalan ini banyak kios makanan. Semuanya bermodel tradisional. Mulai dari makanan sampai desain interiornya. Walaupun hanya menggunakan kain untuk membatasi kios mereka dengan trotoar, tapi tidak menyurutkan minat pengunjung Jl. Malioboro untuk berhenti dan bersantai sejenak meskipun hanya memesan teh manis hangat dan cemilan khas Yogya seperti bakpia.

Tempat ini menjadi penuh dengan makanan khas Yogya seperti gudeg, tahu-tempe bacem, dan lainnya. Semuanya disajikan dengan hangat dan aromanya benar-benar menerbitkan hasrat aku untuk makan. Para pengunjung kios-kios tersebut duduk di atas tikar dan mulai menikmati hidangan yang mereka pesan. Tak hanya kios, pedagang asongan bermodalkan sepeda atau jinjingan juga meramaikan bagian jalan ini.

Kami berdua pun memutuskan untuk minum teh hangat di kantin deretan tempat parkir. Sekedar menghangatkan perut, mengingat perjalanan pulang ke Jakarta memakan waktu yang sangat lama. Saat kami sedang duduk terlihat para siswa rombongan SMA 90 mulai kembali ke bus, mengingat waktu yang disediakan sudah hampir habis. Tak lama, kami pun mengikuti jejak mereka.

Akhirnya perjalanan berpetualang di Jl. Malioboro usai sudah. Saatnya kembali ke kota asal, Jakarta. Kami pun berangkat pukul 21.00 dari Malioboro. Sayangnya, sempat ada kendala yang terjadi pada salah satu bus rombongan kami. Akhirnya kami berhenti selama hampir 1 jam pada tengah malam di Kebumen. Akibatnya, bus kami tiba di Jakarta pukul 17.00, terlambat hampir 12 jam dari jadwal yang sudah ditentukan. Tapi kami bersyukur karena bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Perjalananku ke Yogyakarta memang sudah berakhir. Tapi itu tidak membuatku berhenti berharap untuk dapat kembali ke sana karena aku tidak puas dengan waktu yang diberikan. Aku berharap bisa kembali ke sana agar aku bisa lebih menikmati keindahan budaya, alam, dan masyarakat Yogyakarta.

1 komentar:

  1. Jadi kangen malioborooo.. kapan-kapan, 2k8 kalo punya duit kesana yok rame rame! :)) (what a damn big great imagination)

    BalasHapus